Rabu, 24 Juni 2015

Berwisata sebagai gaya hidup & Tipologi

Berwisata sebagai Gaya Hidup
Pengertian pariwisata menurut Bukart dan Medlik, 1990 (dalam Soekadijo 2000), pariwisata adalah perpindahan orang untuk sementara dan dalam jangka waktu pendek ke tujuan–tujuan di luar tempat dimana mereka biasanya hidup dan bekerja.
Sementara Suwantoro (1997), memberikan pengertian pariwisata sebagai  suatu proses kepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Dorongan kepergiannya karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kesehatan maupun kepentingan lain seperti sekedar ingin tahu, menambah pengalaman atau untuk belajar.
Sedangkan Menurut Freuler, 1980 (dalam Pendit, 1999), merumuskan pariwisata dalam arti modern, merupakan gejala jaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sadar terhadap keindahan alam, kesenangan dan kenikmatan alam semesta, dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas dalam masyarakat manusia sebagai hasil perkembangan perniagaan, industri dan perdagangan serta penyempurnaan alat–alat pengangkutan.
Aspek Penawaran dan Permintaan Pariwisata

Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto 2005), ada empat aspek (4A) yang harus diperhatikan dalam penawaran pariwisata. Aspek-aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang membentuk totalitas dari sebuah produk wisata, keempat aspek tersebut terdiri dari; (1) Attraction (daya tarik); daerah tujuan wisata (selanjutnya disebut DTW) untuk menarik wisatawan pasti memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya. (2) Accesable (transportasi); accesable dimaksudkan agar wisatawan domestik dan mancanegara dapat dengan mudah dalam pencapaian tujuan ke tempat wisata. (3) Amenities (fasilitas); amenities memang menjadi salah satu syarat daerah tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama di DTW. Dan (4)Ancillary (kelembagaan); adanya lembaga pariwisata wisatawan akan semakin sering mengunjungi dan mencari DTW apabila di daerah tersebut wisatawan dapat merasakan keamanan, (protection of tourism) dan terlindungi.
Sedangkan Jackson, 1989 (dalam Pitana, 2005) melihat bahwa faktor penting yang menentukan permintaan pariwisata berasal dari komponen daerah asal wisatawan antara lain, jumlah penduduk (population size), kemampuan finansial masyarakat (financial means), waktu senggang yang dimiliki (leisure time), sistem transportasi, dan sistem pemasaran pariwisata yang ada.

Tipologi Wisatawan

Wisatawan adalah orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dari kunjungannya itu. (Spillane, 1993).  Tipologi wisatawan merupakan aspek sosiologis wisatawan yang menjadi bahasan yang penting pada studi pariwisata, Menurut Plog, 1972 (dalam Pitana, 2005) mengelompokkan tipologi wisatawan sebagai berikut: (1) Allocentris, yaitu wisatawan hanya ingin mengunjungi tempat-tempat yang belum diketahui, bersifat petualangan, dan mau memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh masyarakat lokal. (2) Psycocentris, yaitu wisatawan yang hanya ingin mengunjungi daerah tujuan wisata sudah mempunyai fasilitas dengan standar yang sama dengan di negaranya. (3)Mid-Centris, yaitu terletak diantara tipologi Allocentris dan Psycocentris.
Menurut Pitana (2005), tipologi wisatawan perlu diketahui untuk tujuan perencanaan, termasuk dalam pengembangan kepariwisataan. Tipologi yang lebih sesuai adalah tipologi berdasarkan atas kebutuhan riil wisatawan sehingga pengelola dalam melakukan pengembangan objek wisata sesuai dengan segmentasi wisatawan.
Pada umumnya kelompok wisatawan yang datang ke Indonesia terdiri dari kelompok wisatawan psikosentris (Psycocentris). Kelompok ini sangat peka pada keadaan yang dipandang tidak aman dan sangsi akan keselamatan dirinya, sehingga wisatawan tersebut enggan datang atau membatalkan kunjungannya yang sudah dijadualkan (Darsoprajitno, 2001).
Motivasi Wisatawan untuk Berwisata
Menurut Sharpley, 1994 dan Wahab, 1975 (dalam Pitana, 2005) menekankan,  motivasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam studi tentang wisatawan dan  pariwisata, karena motivasi merupakan “Trigger” dari proses perjalanan wisata, walau motivasi ini acapkali tidak disadari secara penuh oleh wisatawan itu sendiri.
Pada dasarnya seseorang melakukan perjalanan dimotivasi oleh beberapa hal, motivasi-motivasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar sebagai berikut: (1) Physical or physiological motivation yaitu motivasi yang bersifat fisik antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, bersantai dan sebagainya. (2) Cultural motivation yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi dan kesenian daerah lain. (3)Social or interpersonal motivation yaitu motivasi yang bersifat sosial, seperti mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang dianggap mendatangkan gengsi (prestice), melakukan ziarah, pelarian dari situasi yang membosankan dan seterusnya. (4) Fantasy motivation yaitu adanya motivasi di daerah lain sesorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukan dan yang memberikan kepuasan psikologis (McIntosh, 1977 dan Murphy, 1985; dalam Pitana, 2005).
Pearce, 1998 (dalam Pitana, 2005) berpendapat, wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata termotivasi oleh beberapa faktor yakni: Kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, prestise, dan aktualiasasi diri.
Faktor-faktor Pendorong Wisatawan untuk Berwisata

Faktor-faktor  pendorong untuk berwisata sangatlah penting untuk diketahui oleh siapapun yang berkecimpung dalam industri pariwisata (Pitana, 2005). Dengan adanya faktor pendorong, maka seseorang ingin melakukan perjalanan wisata, tetapi belum jelas mana daerah yang akan dituju. Berbagai faktor pendorong seseorang melakukan perjalanan wisata menurut Ryan, 1991 (dalam Pitana, 2005), sebagai berikut:
1)     Escape. Ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan, atau kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.
2)     Relaxation. Keinginan untuk penyegaran, yang juga berhubungan dengan motivasi untuk escape di atas.
3)     Play. Ingin menikmati kegembiraan, melalui berbagai permainan, yang merupakan kemunculan kembali sifat kekanak-kanakan, dan melepaskan diri sejenak dari berbagai urusan yang serius.
4)     Strengthening family bond. Ingin mempererat hubungan kekerabatan, khususnya dalam konteks (visiting, friends and relatives). Biasanya wisata ini dilakukan bersama-sama (group tour)
5)     Prestige. Ingin menunjukkan gengsi, dengan mengunjungi destinasi yang menunjukkan kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk meningkatkan status atau social standing.
6)     Social interaction. Untuk melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat, atau dengan masyarakat lokal yang dikunjungi.
7)     Romance. Keinginan bertemu dengan orang-orang yang bisa memberikan suasana romantis atau untuk memenuhi kebutuhan seksual.
8)     Educational opportunity. Keinginan melihat suatu yang baru, memperlajari orang lain dan/atau daerah lain atau mengetahui kebudayaan etnis lain. Ini merupakan pendorong dominan dalam pariwisata.
9)     Self-fulfilment. Keinginan menemukan diri sendiri, karena diri sendiri biasanya bisa ditemukan pada saat kita menemukan daerah atau orang yang baru.
10)Wish-fulfilment. Keinginan merealisasikan mimpi-mimpi, yang lama dicita-citakan, sampai mengorbankan diri dalam bentuk penghematan, agar bisa melakukan perjalanan. Hal ini juga sangat jelas dalam perjalanan wisata religius, sebagai bagian dari keinginan atau dorongan yang kuat dari dalam diri.
Karakteristik, Motivasi dan Persepsi Wisatawan yang Berkunjung ke Bali
Berdasarkan survei yang dilakukan Disparda Bali, 2003 (dalam Pitana, 2005), ditemukan sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke Bali dari kelompok umur muda (20-39 th), yaitu sebesar 64% wisman dan 65% untuk wisnus.  Dilihat dari jenis kelamin, ada kecenderungan wisatawan laki-laki lebih banyak daripada perempuan, walaupun dengan perbedaan yang tidak terlalu besar, yaitu 54:45 untuk wisman dan 57:42 untuk wisnus. Begitu juga jika dilihat dari jenis pekerjaan wisatawan, sebagian besar wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali 43,66% mempunyai pekerjaan sebagai tenaga ahli atau profesional. Sedangkan 46,32%  wisatawan nusantara yang datang ke Bali mempunyai profesi sebagai pekerja kantor atau pegawai, dan 22,8% adalah pelajar atau mahasiswa.
Pada sisi lainnya, jika dilihat dari motivasi kedatangan wisatawan ke Bali, 93% datang untuk tujuan berlibur, 7% untuk tujuan lainnya. Dilihat dari sejumlah harapan yang terkait dengan image/citra tentang Bali, 48,54% kedatangan wisatawan ke Bali sesuai dengan harapannya. Bahkan 44,10% wisatawan mancanegara menyatakan, kenyataan lebih baik dari harapannya. Bagi wisatawan nusantara, 71,53% menyatakan kenyataan yang dialami di Bali selama berlibur memang sesuai dengan harapannya. Ada banyak hal yang dinilai positif oleh wisatawan mancanegara tentang Bali. Alam Bali dianggap masih asli sebesar 84%.
“Hipotesis” Ada Hubungan Gaya Hidup dengan Perilaku Konsumen
  1. 1. Gaya Hidup Menentukan Aktivitas Wisata:
Kotler, 2000, berpendapat bahwa: gaya hidup adalah gambaran hidup seseorang yang terbawa pada ekspresi pada setiap aktivitas, hasrat serta keingingan, dan pendapat-pendapat yang tercetus daripadanya

  1. 2. Pilihan Daerah Tujuan Wisata Berhubungan dengan keanekaragaman Aktivitas Wisata
Crompton, 2004 memiliki pandangan bahwa gaya hidup atau lifestyle berdampat pada setiap aspek kehidupan manusia, gaya hidup juga berdampak pada nilai nilai hubungan social, kondisi ekonomi, bahkan juga berdampak pada faktor-faktor lingkungan.

  1. 3. Perilaku Konsumen berhubungan dengan Tipologi Wisatawan
Gaya hidup juga berhubungan dengan aktivitas, hobi, pendapat, dan juga gaya hidup memainkan peranan penting pada perilaku konsumen (Menurut Crompton, 2004)

  1. 4. Tipologi Wisatawan dipengaruhi Gaya Hidup

Tipologi wisatawan merupakan aspek sosiologis wisatawan yang menjadi bahasan yang penting pada studi pariwisata, Menurut Pitana (2005), tipologi yang  sesuai adalah tipologi berdasarkan atas kebutuhan riil wisatawan sehingga pengelola dalam melakukan pengembangan objek wisata sesuai dengan segmentasi wisatawan.  Diasumsikan bahwa tipologi wisatawan adalah gambaran dari gaya hidup wisatawan yang berdampak pada perilakunya pada daerah tujuan  wisata yang dikunjunginya.

Tidak ada komentar: